Pairing: WonSung
Length: Oneshoot
Genre: Sad romance, angst
Warning: BL, Un-Official pairing, Death Chara, typo(s)
.
.
.
Spfly3024 present~
.
.
.
HAPPY READING~~
.
.
.
.
.
.
.
.
Ini hanya seulas kisah, yang mungkin akan menjadi debu suatu saat nanti,
terlupakan, terabaikan. Atau mungkin akan menjadi bisik hembusan angin yang
berhembus dari bumi kedua. Aku harap
saat itu akan tiba, saat dimana pengharapanku terwujud meski dengan jalan
berbeda, ketika asa’ku berubah nyata meski sukmaku telah mencapai titik
peleburannya.
Detik-detik menyakitkan menunggu pelepasan makna dari raga, hingga hari
itu tiba. Perasaan tak rela bercampur rasa kelewat bahagia juga terharu
bercampur menjadi sebuah rasa yang sungguh luar biasa, semuanya menjadi satu.
Hari ketika pertama kali aku merasa begitu sempurna, hari yang lain dari musim
gugur, hari di mana aku menemukan gumpalan kasih yang mungkin sedikit demi
sedikit terkumpul dibawah sadar.
.
.
.
Sinar sang mentari sudah muncul di seperempat belahan bumi.
Bias cahayanya yang putih menembus rangkaian ranting pohon yang mulai di
tumbuhi dedaunan muda di ujung-ujungnya, membuat salju yang menutupi jalanan
dan bangku-bangku taman mencair perlahan.
Kicauan burung penyambut hari, riuh sapaan ceria penduduk
bumi, juga wangi kehidupan yang baru saja bermekaran, sungguh menenangkan.
Pagi yang indah di awal musim
semi.
.
.
.
.
.
.
Ia terlihat rapuh. Iris onyx’nya kosong, memandang lurus ke
arah jendela. Bukan pemandangan musim semi maupun gemuruh aktifitas di bawah
sana atau apapun yang menarik perhatiannya, ia hanya menatap udara hampa yang
melayang di sekitar jendela.
Tubuh mungilnya yang berbalut piyama baby blue khas rumah
sakit duduk menyandar di ranjang persakitan. Ia begitu lemah. Tetesan cairan
infuse masih saja masuk ke pembuluh nadinya, entah sudah berapa kantung cairan
bening yang ia habiskan. Sepasang tangan mungilnya memeluk erat sebuah boneka
kura-kura berwarna hijau toska, sesekali mengelus benda berbulu itu dengan
lembut.
Bibir tipis yang dulu selalu ranum itu kini pucat pasi,
alunan nada lembut teralun lolos dari bibirnya yang sedikit terbuka. Suara yang
dulu bak suara malaikat itu kini hanya bisa bersenandung lirih, menyanyikan alunan
hampa yang seolah tak bermakna.
.
.
.
.
.
.
Musim semi telah menggantung harapannya di atas langit.
Mengajak seluruh komponen bumi untuk melupakan kenangan menyakitkan yang di
torehkan selama musim dingin. Salju yang dingin telah berlalu, perlahan pergi.
Mencair.
Harapan yang tak terwujud di musim dingin, akankah bisa
terwujud di musim semi ini?
Atau hanya akan terbawa luluhan benda putih bernama salju
itu?
Bukankah musim semi adalah musim di mana kehidupan baru
muncul?
Bisakah setitik asa itu sedikit bisa mencuat di musim semi
yang tengah berbahagia ini?
.
.
Mobil hitam legam nan mewah itu berhenti di areal parking,
pemiliknya yang merupakan seorang pemuda tampan keluar dengan tergesa. Kaki jenjangnya
segera menapaki lorong putih menuju suatu tempat tepatnya ruangan, tempat yang
beberapa bulan terakhir ini menjadi tempatnya pulang selain rumah.
Namja itu berhenti di depan pintu dengan nomor kamar 410,
tanpa harus berpikir lagi ia menggenggam knop pintu, sedikit memutarnya lalu
mendorongnya. Pintu itu terbuka, obsidian milik namja itu mendapati sosok
tercintanya tengah bersandar duduk di ranjang.
Seperti di beri beban berat, kakinya serasa meluruh di
lantai. Perasaan cemas, takut, khawatir yang mengganggunya kini tertutupi
perasaan lega.
Ini salahnya, andai saja tadi malam ia tak mementingkan
kerja lembur untuk menemani malaikat kecilnya di ‘penjara bercat putih’ itu,
mungkin tadi pagi ia tidak akan menerima panggilan dari rumah sakit bahwa malaikat
kecil’nya itu sempat kembali ‘kritis’ tadi malam.
Perlahan dia berjalan menghampiri sosok yang masih duduk
terdiam itu, meski dengan langkah terseok. Tapi semakin dekat ia dengan sosok
rapuh itu, hatinya semakin menjerit. Sorot iris yang dulu bersinar itu, ia
ingin melihatnya lagi, ia merindukannya. Alunan hampa suara lirih itu, ia ingin
mendengarnya kembali menyanyikan lagu cinta untuknya.
Ia tak berdaya oleh halusinasi rasa sakitnya sendiri. Seolah
ia lebih menderita dari namja rapuh yang kini seperti mempunyai dunia berbeda. Sampai
kapan ia harus melihat sosok itu seperti ini?
Seperti harapannya pada musim dingin lalu, bisakah ia kembali
berharap lebih besar pada musim semi ini?
Berharap ia bisa kembali berbahagia seperti dulu. Berharap
malaikat kecilnya bebas dari belenggu yang menjeratnya di tiang maut.
“Naboda
do himdurossultende
Naboda
do gogjonghessultende
Gudega
isso irosol su issokgo
Nul
gomaum maumdul ppunijyo..”
“yesung hyung..”
Yesung -sosok itu- menoleh mendapati seorang namja yang
menghampirinya, bibir pucatnya tersenyum tipis.
“siwon..” tangan yesung terangkat sekedar untuk menggapai
namja yang menurutnya luar biasa. Namja yang telah berbesar hati menemaninya
menghabiskan sisa waktu yang ia miliki, namja yang dengan tulus mencintainya
walaupun ia dengan keadaan seperti ini.
Siwon meraih tangan yesung lalu menggenggamnya, tangannya
yang lain menyentuh pipi bulat yesung –tapi itu dulu, sekarang pipi chubby itu
terlihat lebih tirus. Namja itu mengecup dahi yesung lalu membawanya ke dalam
pelukannya.
“kau membuatku takut. Maafkan aku, maafkan aku” gumam siwon
semakin mempererat pelukannya pada tubuh mungil itu. Yesung hanya diam, tidak
ada ekspresi yang berarti di wajah
pucatnya. Ia hanya membalas pelukan siwon dan mengusap-usap lembut punggung
namja itu.
“harusnya aku mengambil cuti saja, harusnya aku tidak lebih
mementingkan pekerjaanku. Maafkan aku”
.
.
.
.
.
.
Burung-burung kecil menari mengitari pohon ginko yang mulai
berpucuk di halaman rumah sakit. Dengan kicauannya yang ceria sebagai sajak,
burung itu terlihat tanpa beban. Angin musim semi yang hangat juga menenangkan
seakan menambah kesan masyur walaupun di pusat kota yang merupakan pusat
kegiatan bagi sebagian masyarakat seoul, korea selatan.
Ini hari yang lain.
Suara sepatu itu kembali terdengar mengetuk lantai marmer, suara
langkah kaki seorang namja yang mengantarkanya ke sebuah ruangan berlabel ‘VIP
410’ di depan pintu. Dengan sebuah vas bunga mungil berisi bunga krisan putih
di tanganya, namja itu terlihat bahagia, senyum terus saja membingkai wajah
tampannya.
“happy anniversary baby..” siwon muncul di balik pintu
bercat putih itu, membuat seluruh perhatian yesung beralih kepadanya. Namja itu
mengecup sekilas bibir yesung kemudian meletakan vas bunga krisan yang di
bawanya di atas lemari kecil yang berada di samping ranjang yesung lalu duduk
di kursi yang tersedia di sana.
“2160 days” lanjutnya seraya tersenyum menunjukan sepasang
dimpel di pipinya.
Bibir pucat yesung terangkat, tersenyum. Membuat siwon
tertawa kecil.
Namja itu mengusap surai hitam yesung dengan lembut. Mereka
saling bertatapan lama, seolah tidak ada hari lain untuk mereka berdua bertemu.
Saling bertukar perasaan, saling mengerti satu sama lain tanpa harus melalui
kata.
Bukan hal mudah untuk keduanya sampai pada sisi ini, banyak
sekali kerikil besar maupun kecil yang menaburi jalan lurus mereka. 6 tahun,
waktu yang bukan bisa di bilang main-main untuk saling mengerti dan memiliki.
Cinta mereka sempurna, jalan yang tuhan biarkan lurus meski
berbatu. Tumbuh dengan sangat indah meski di payungi awan mendung. Tapi apakah
cinta suci mereka akan menuai hasil yang sama?
Katakanlah iya, meski awal yang baik tak selalu berakhir
dengan baik pula. tapi untuk kali ini saja biarkan mereka berkeyakinan semua
akan baik-baik saja. Sama seperti kejadian-kejadian yang lampau, sesuatu besar
terjadi dan kini mereka baik-baik saja. Apakah kali ini juga mereka bisa
menganggap semua akan baik-baik saja?
Tentu, selama keyakinan dan kepercayaan itu ada. Semua akan
baik-baik saja –kan?
“siwon..”
“hem?”
“terima kasih”
“untuk?”
“segalanya..”
“segalanya?”
“ya, segalanya.. kau selalu ada di sampingku meski aku
seperti ini” yesung menghela nafas tertekan oleh ucapannya sendiri, ia sungguh
merasa sangat buruk jika menyangkut soal ini. Wajah itu merunduk sebentar
memutus tatapan siwon yang penuh arti, lalu kembali mengangkatnya dan tersenyum
manis walau dengan bibir pucat.
“kau yang terbaik siwon, kau namja yang luar biasa..” ucap
yesung kemudian.
“begitukah?”
“hm..” jawabnya mengangguk pelan. Siwon tersenyum tulus.
Ia menggenggam jemari namja manis itu lalu mengecupnya lama,
memejamkan matanya merasakan sesuatu yang hangat menelusup hatinya yang selalu
ia dapatkan jika berada sedekat ini dengan yesung. sesuatu yang membuat ia gila
karenanya, sebuah perasaan kelewat nyaman setiap ia bersama sang kekasih.
Tangan yesung yang
lain terangkat sekedar untuk mengusap pipi namja tercinta. Tangan itu bergetar,
yang membuat siwon terpaksa mengakhiri acara meresapi kenyamanannya dan membuka
mata.
Tes
Tes
Siwon terhentak, yesung’nya menangis.
Ia menyentuh wajah yesung yang tengah menangis dalam diam,
mengusap cairan bening yang –demi apa, siwon membencinya. “ada apa baby? Apa
ada yang sakit heum?”
Yesung mengangguk samar sambil terisak pelan, “aku.. sakit
siwon..” lirihnya ambigu.
Siwon mulai panik, Ia menyentuh wajah yesung untuk memastikan
yesung baik-baik saja.
“yang mana yang sakit sayang? Apa perlu aku panggilkan
dokter?”
“ani, peluk aku”
“baby ‒”
“peluk aku.. siwon”
Walaupun dengan sedikit
ragu akhirnya siwon bangkit lalu duduk di tepi ranjang yesung, ia
kemudian memeluk yesung, membiarkan yesung menelusup ke dalam dada bidangnya.
Ia mengecupi pucuk kepala yesung, mendekap lebih erat ketika
menyadari tubuh itu bergetar dan semakin erat memeluknya.
“aku harus memanggil dokter baby, bertahanlah”
“aku tak bisa bertahan tanpamu..
jangan tinggalkan aku, tetaplah seperti ini”
Yesung menangis dalam dekapan
sang kekasih. Bukan karena rasa sakit yang memang sudah jelas menyiksa raganya,
tapi rasa sakit yang lain yang lebih-lebih menyiksa. Menyerang bagian ulu
hatinya, tempat dimana siwon menyita seluruh ruang vital tersebut.
Siwon terlalu sempurna,
mencintai yesung dengan semua yang ia punya. Yang tak ayal membuat yesung harus
sampai pada pemikiran ‘apa ia pantas mendampingi choi siwon?’, ‘apa yang ia
punya hingga ia berhak menerima cinta yang begitu luar biasa dari siwon?’
‘hatiku siwon.. hatiku sakit’
.
.
.
.
.
.
“kemoterapy saja tidak akan cukup bisa untuk
menyelamatkannya dari maut, lakukan sesuatu untuk uri yesung.. kami mohon”
“untuk saat ini, hanya itu yang terbaik yang bisa kami
lakukan Ny.choi. Dan tentu saja kami pasti akan selalu berusaha memeberikan
yang terbaik untuk semua pasien kami”
“tolong jangan
biarkan dia meninggalkannku..”
“kami akan berusaha siwon-ssi”
Yesung menghela nafas panjang, sejenak ia menyandarkan
kepalanya yang tiba-tiba saja pening di dinding rumah sakit. Wajahnya tak
menunjukan raut apapun, karena memang inilah yang sudah sejak lama ia
persiapkan.
Separuh perbincangan antara dokter, siwon juga Mrs.choi tadi
sudah sangat membuatnya mengerti. Akhirnya memang harus sama, ia kini sangat
memahami siapa itu takdir. Tidak ada yang bisa mengubahnya kecuali mukjizat itu
memang benar adanya. Atau mungkin keajaiban? Harus berapa lama lagi waktu yang
ia buang demi menunggu keajaiban itu datang? Apa ia masih punya cukup waktu
untuk itu?
Dengan gerakan yang terbilang minim, ia mencoba menggerakan
kursi rodanya dan kembali ke kamar inap.
.
.
.
Pintu terbuka, seorang yeoja cantik untuk ukuran yeoja yang
telah berkepala 3 masuk bersama seorang namja tampan. Yeoja itu mengusap sisa
air mata sebelum menghampiri pemilik ruangan putih itu yang tengah memandangi
bunga krisan putih pemberian siwon tempo hari di dekat jendela dengan boneka
kura-kura di pangkuannya.
Mendengar suara derap langkah kaki, yesung menoleh. Ia
tersenyum tipis melihat siapa yang datang. “umma, siwon..”
Mrs.choi ‒yeoja tadi‒ memeluk sejenak yesung lalu
mencium dahi serta pipi sang ‘calon istri’ putranya tersebut cukup lama. “umma
merindukanmu sayang, bagaimana keadaan mu heum?”
“aku baik-baik saja umma..” jawab yesung pelan seraya
tersenyum manis. Mrs.choi mensejajarkan dirinya dengan yesung yang duduk di
kursi roda, dengan lembut ia mengusap surai hitam yesung sementara tangannya
yang lain menggenggam jemari yesung.
“kau harus cepat sembuh baby, dan ikut umma ke Canada. Kita
akan hidup bahagia disana bersama siwon. Atau mungkin lebih baik kau menjalani
perawatan disana, jadi umma bisa lebih sering menemuimu dan merawatmu.
Bagaimana?”
Yesung lagi-lagi tersenyum, ia memandangi umma dari
kekasihnya itu dengan penuh rasa terima kasih. Ia yang terlahir sebagai yatim
piatu dan tumbuh di panti asuhan sangat bersyukur memiliki siwon juga keluarga
siwon yang begitu menyayanginya. Ia tidak pernah membayangkan akan hidup
sesempurna ini.
“terima kasih umma, tapi aku ingin tetap di sini” yesung
menggeleng lemah, berbalik menggenggam tangan Mrs.choi yang menggenggamnya. Ini
sudah cukup untuknya. Ia tidak ingin menjadi orang yang tak tau diri,
kehadirannya sudah cukup menjadi beban bagi keluarga choi.
Dan inilah alasannya ia sama sekali tak pernah mengeluh. Ia
telah menerima kehidupan yang terbilang sempurna, tuhan sangat baik telah
membiarkannya hidup seperti ini. Dan begitu pula tentang sakitnya kini, multiple myeloma stadium akhir menjadi
pelengkap kesempurnaan hidupnya. Yesung tak pernah ingin tau alasan mengapa
tuhan memberikan pukulan terberat dalam hidupnya itu, karna ia sangat meyakini
pepatah ‘tidak ada yang sempurna’ dan menjadikannya sebagai petuah. Juga yesung
yakin, tuhan kelewat menyayanginya.
Mata Mrs.choi kembali dilinangi air mata, Ia tau yesung
tidak akan menerima tawarannya. Kadang ketulusannya tak pernah di anggap
sebagai cucuran kasih sayang oleh yesung yang selalu berusaha membalas budi,
padahal jelas-jelas ia sangat menyayanginya dengan tulus seperti anak kandungnya
sendiri. Siwon, putranya telah memilih yesung, begitu pula dirinya sebagai
seorang ibu.
“umma menyayangimu yesung..”
“nado.. umma..”
Sesuatu mencelos di hati siwon, ia menutup matanya sekilas
untuk menetralkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul. Apakah sesulit ini
mencari kebahagiaan?
Ani, apakah sesulit ini mengembalikan kebahagiaanya?
Ia mendekat, melingkarkan sepasang tangan kekar miliknya di
bahu yesung, mendekapnya penuh kasih. Membiarkan tangan sang umma yang kini
mengusap lembut punggungnya, Mencoba memberi kekuatan dan kesabaran.
Bagaimanapun juga ia harus kuat demi yesung –kan?
.
.
.
.
.
.
“si..siwon”
“hmm?”
“aku.. ingin pulang”
Siwon meletakan apel yang tengah Ia kupas di atas meja
beralih menatap sendu yesung yang masih
saja memandang kosong jendela.
“tentu saja, tapi setelah kau sembuh baby” ucap siwon
setelah cukup lama terdiam.
“kkoming, aku merindukannya”
“aku akan meminta mommy untuk membawanya kemari besok”
“Bawa aku pulang siwon”
“baby..” siwon mendesah, ia beranjak untuk menutup jendela
yang sedari tadi menjadi pusat tatap yesung, berusaha mengalihkan focus yesung
kearahnya. Ia lalu duduk di tepi ranjang yesung. Ini bukan kali pertama yesung
meminta hal seperti itu, dan tentu dengan berbagai alasan berbeda.
Dengan terpaksa dua pasang iris berbeda itu bertemu, siwon
dengan tatapannya seolah memberi perhatian, sedangkan yesung menatap siwon
dengan tatapan tak tentu arti.
“bawa aku pulang atau.. jangan pernah menemuiku disini,
jangan pernah kemari lagi”
“yesung..” ia kembali mendesah, menunduk memutus kontak mata
yang terjadi antara keduanya, kedua tangannya meraih sepasang tangan yesung,
mengusapnya lembut lalu menggenggamnya. Siwon kembali mengankat wajah, kembali
menyelami iris onyx sang kekasih, mencari tau maksud yesung yang barang kali
bisa ia temukan pada iris gelap itu.
Tidak ada yang bisa ia jelaskan untuk yesung, entah ia harus
memulainya dri kata apa atau dari mana ia pun tak mengerti.
“bertahanlah hyung.. jebal..”
“aku lelah, pulanglah sebelum larut..” yesung menarik kedua
tangannya yang siwon genggam, ia mencoba berbaring di ranjangnya dengan susah
payah, setelah berhasil ia menutupi suluruh wajahnya dengan selimut dan tidur
memunggungi siwon.
Siwon memandang nanar punggung yesung yang luput dalam
selimut rumah sakit. Jika bukan demi sang kekasih, mana rela ia melihat yesung
berlama-lama di tempat seperti ini?
Siapa yang tega melihat orang yang kita cintai berjuang
seorang diri melawan maut tanpa bisa sedikitpun membantunya?
Jika siwon bisa, mungkin ia lebih memilih menukar posisi
dengan yesung. tapi, apa ia bisa?
.
.
.
.
.
.
Hari ini rinai hujan tampak dengan malu-malu jatuh mengguyur
dedaunan yang baru saja muncul di kota seoul. Langit sore tampak berawan. Meski
tak terlalu tebal, remang cahaya yang seharusnya cerah itu sedikit membuat rasa
yang berbeda, terasa sedikit menyedihkan..
Sama seperti tetes air hujan di luar sana, tetes air –pun di
temukan menetes dari sepasang kelopak mata yang tertutup.
Ia menangis.. cukup lama –terlihat dari matanya yang mulai
membengkak.
Tak lama lagi ia akan mengikuti jejak sang awan –yang
keberadaannya perlahan akan terkikis angin serta hujan. Apa semuanya akan
kembali seperti semula?
Sama seperti suka cita ketika hujan berhenti, apa ketika ia
pergi pun akan ada hal seperti itu?
Yesung tak ingin hidup mengandalkan orang lain lebih lama
lagi. Alasan terkuat yesung untuk hidup adalah siwon. Ya, siwon kekasihnya.
Tapi apakah ia harus selalu menyeret siwon pada masalahnya?
Siwon, Mr & Mrs.choi, jiwon, apa ia tega terlalu lama
menjadi beban mereka?
Ini memuakan, melihat mereka menangisi keadaannya, melihat
siwon yang menatapnya dengan mata berkaca di depan pintu setiap ia melakukan
kemoterapy. Ia tau siwonnya selalu menangis, ia juga tau siwonnya selalu ingin
terlihat kuat dihadapannya. Dan ia tau siwonnya mencintainya lebih dari apapun.
Itu yang menurutnya salah, harusnya siwon tak mencintanya,
jadi yesung bisa lebih siap untuk ‘pergi’ tanpa harus meninggalkan separuh
sukmanya yang tersimpan di hati siwon. Walaupun nyatanya kesalahan itu
membuatnya merasa hidup.
Cinta siwon membuatnya hidup, cinta siwon membuatnya bisa
bertahan sampai detik ini, cinta siwon membuatnya sadar betapa ia sangat
berarti.
Semua berawal dari cinta siwon untuknya, untuk itu, akhir yang
akan ia bawa-pun akan ia persembahkan untuk cinta siwon. Semoga..
.
.
“tentang hubungan kita.. lebih baik kita akhiri di sini..”
-deg-
Bagai tersengat ribuan volt
listrik, siwon membatu di tempatnya. Siwon mulai merasakan panas sekaligus
dingin menjalar keseluruh tubuhnya. Ia harap ini hanya halusinasinya saja
akibat dari terlalu memikirkan yesung, tapi sungguh ini begitu nyata bahkan
sangat nyata. Siwon lebih baik tuli dari pada harus mendengar kalimat yang
menurutnya lebih pahit dari buah ara yang keluar dari mulut yesung.
Yesung melepas cincin bermata
sapphire dari jari manis tangan kirinya lalu meletakannya di telapak tangan
siwon yang masih diam membatu. “cari seseorang yang bisa membahagiakanmu..”
lanjutnya pelan.
Terdengar tawa janggal dari
siwon, “ini tidak lucu baby..” siwon kembali menyematkan cincin tadi di jari
manis yesung –yang langsung ditahan oleh tangan yesung yang lain.
“apa aku terlihat becanda?”
Tanya yesung menatap dingin siwon. Namja tampan itu tergagap, masih belum paham
bagaimana situasi yang sekarang ia hadapi. Kekasihnya tiba-tiba ingin
mengakhiri hubungan yang sudah 6 tahun susah payah mereka jaga.
siwon menangkup pipi yesung
untuk memfokuskan iris onyx itu menatap obsidian miliknya. “ta-tapi apa
alasannya? Apa aku melakukan kesalahan?” Tanya siwon gagap. Semuanya terlalu
tiba-tiba dan mungkin saja bisa membuatnya gila.
Dengan mudah yesung menampik
tangan siwon yang menangkup wajahnya. “ani, hanya saja.. aku bosan.. aku bosan
denganmu siwon”
“Kau tau kan hyung, aku sangat
mencintaimu, aku tidak bisa tanpamu”
‘nado, aku lebih mencintaimu siwon, maafkan aku..’
“tapi aku sudah tak mencintaimu
lagi, kau puas?”
‘maafkan aku wonnie, mianhae mianhae mianhae..’
“omong kosong..!!” siwon tertawa
sinis, memalingkan wajahnya kearah lain. Sepersekian detik kemudian ia kembali
menatap meminta penjelasan kearah yesung.
“aku sudah selesai, kau boleh
keluar dan.. jangan pernah kemari lagi”
Ia berbalik memunggungi siwon,
berharap tidak akan ada lagi interaksi yang terjadi antara Ia dan siwon. Yesung
menggerakan kursi rodanya agar lebih dekat menuju jendela. Mangantisipasi jika
air mata yang terbendung di pelupuk matanya merangsek keluar. Dan benar saja,
cairan hangat itu tidak bisa ia bendung lagi, mengalir menuruni pipinya,
melintas di bibirnya yang pucat.
Namun, pergerakan tak terduga ia
terima dari siwon. Siwon dengan sepasang lengan kekar miliknya memeluknya dari
belakang. Memeluknya erat, sangat erat hingga ia merasakan sesak.
“Sampai matipun aku tidak akan
melepaskanmu.. sampai dunia ini berakhir, kau maupun aku akan selalu saling
mencintai. Tidak ada yang bisa merubahnya.. sekalipun di kehidupan kedua kelak,
kita akan kembali saling memiliki.. tidak akan ada yang bisa merubah apapun.. tidak
ada..!!”
Isakan kecil akhirnya lolos dari
bibir mungil yesung, cukup lama ia terdiam dan terus terisak. “aku akan mati
siwon.. kau harus meninggalkanku sebelum aku meninggalkanmu” ucapnya parau.
Mendengar ucapan yesung,
tiba-tiba saja hati siwon hancur menjadi puing, jantungnya mendenyut sakit
ketika satu kata ‘mati’ terdengar dari mulut yesung. tidak! Ia tidak akan
membiarkan yesung meninggalkannya! Siwon semakin mengeratkan pelukannya. Seolah
ia tidak mengijinkan barang seorangpun membawa yesung pergi darinya.
“jangan bicara lagi, jangan
katakan apapun.! Aku tidak akan membiarkannya..! tidak ada yang bisa merebutmu
dariku, sekalipun itu maut! Bahkan jika aku kehilangan kepalaku, itu tak apa
asal kau tetap di sampingku. Walau harus di tukar dengan nyawaku, aku rela jika
itu bisa melindungimu. Aku akan memohon dan bersujud di kaki tuhan untuk
meminta agar tuhan membiarkan kita selalu bersama.. selamanya, bersama
selamanya.. dan tidak akan pernah bisa ada yang memisahkan..”
Dan begitulah hari itu berakhir.
Hujan pertama di minggu kedua musim semi. Dengan sebuah kata atas nama cinta
yang siwon ikrarkan, mungkin sekalipun tidak ada lagi hari esok untuk yesung,
ia tidak akan menyesal. Dengan melihat seperti apa siwon mencintainya ia sudah
sangat bersyukur. Tapi ini belum berakhir, ia adalah belenggu, sudah saatnya
belenggu ditempatkan pada tempatnya. Dan ia berpikir tempatnya kini di samping
siwon tentu saja tempat yang salah, bunkan tempat yang seharusnya.
‘siwon.. jeongmal mianhae’
.
.
.
.
.
.
Siwon memandang nanar yesung yang berusaha turun dari
ranjang untuk duduk di kursi rodanya. Ini sudah seminggu lebih terhitung dari kejadian di hari penghujan hari
itu, siwon merasa yesung berubah, menghindarinya. Padahal kondisi yesung
sekarang bisa dibilang kondisi terparah selama ia sakit. Ia mulai sulit bergerak,
bahkan untuk berbicara.
“yesung..”
“ja-ngan sentuh a-ku. Jangan men-dekat.. se-baik-nya kau
per-gi..” Dan untuk kesekian kali, yesung menepis tangan siwon yang hendak
membantunya. Dengan bertumpu pada ujung meja dan tepi ranjang, kaki yesung
berusaha menapak pada lantai. Raut wajahnya berubah aneh ketika telapak kakinya
terasa linu saat menapaki lantai yang dingin.
“akh!” yesung tersungkur ke lantai ketika tiba-tiba saja
kepalanya berputar, vertigo yang biasa para penderita multiple myeloma alami lagi-lagi
menderanya. Dadanya membentur lengan kursi roda yang tak jauh dari ranjang.
Siwon segara meraih tubuh yesung yang memegangi dadanya, dahinya berkerut menahan sakit.
“yesung!”
Tubuh yesung meronta di pangkuan siwon, seluruh tubuhnya
memanas. Yesung terengah, paru-parunya seolah sulit mendapat pasok oksigen.
Seperti turut merasakan apa yang di rasakan yesung, tangan kekar milik siwon
bergetar mengusap pelipis serta surai yesung yang sudah basah oleh keringat
dingin. Ini bukan pertama kalinya ia menyaksikan yesung seperti ini, tapi entah
kenapa kali ini siwon merasa berbeda.
“aku akan memanggil dokter, bertahanlah sebentar..” ucap
siwon gemetar, melihat yesung kesakitan membuatnya ketakutan. Yesung menggeleng
lemah masih dengan nafas terengah.
Dengan sisa kekuatannya, ia meraih ujung kerah jas yang
siwon pakai, menariknya sehingga tubuh siwon semakin mendekat padanya, berharap
tubuh kekar itu dapat memberinya perlindungan juga kekuatan. Siwon yang panic
luar biasa mencoba memeluk yesung yang mulai mengerang kesakitan. Semakin erat
ia merengkuh tubuh rapuh itu, semakin erat juga cengkraman yesung pada
lengannya untuk melempiaskan rasa sakit hingga lengan itu memerah di balik jas
yang ia pakai.
Menyerah dengan keadaan, tubuh yesung mulai melemah.
Cengkramannya pada lengan siwon perlahan melonggar, tidak ada lagi erangan
yesung. siwon yang merasa tidak beres melonggarkan pelukannya sekedar untuk
melihat keadaan sang kekasih.
“tidak! Yesung, bangun sayang.. jangan tidur sekarang. Hey
Baby!” siwon semakin panik melihat mata yesung terkatup perlahan, ia
mengguncang kecil tubuh yang sudah tak berdaya itu. Tidak ada respon, jemari
yesung yang tadi mencengkram lengannya kini jatuh di lantai.
“baby..”
.
.
.
.
.
.
Air dari surga turun kembali berbagi kasih melalui rintiknya
yang cantik. Garis-garis halus yang memiring karena tertiup angin terlihat
kasat mata dari jendela. Hujan kali ini sungguh keterlaluan untuk turun di
musim semi seperti ini, hujan kali ini terlalu lebat. Langit menghitam,
atmosfer yang berubah buruk, membuat semua penduduk seoul menikmati simpony
yang sama, simpony tenang sedikit menyedihkan.
Hujan si pembuat simpony alami. Kita semua tentu tau, hujan
tidak bermaksud buruk. Ini semua tugas dari sang pembuat alam, mereka hanya
menjunjung tinggi sebuah ketaatan. Karena-NYA-lah gumpalan awan gelap itu ada,
dan karena-NYA-lah mereka tiada di gerus angin juga diurai oleh hujan.
Itulah hidup. Hanya mengikuti sebuah alur permainan takdir.
Kita hadir karena takdir, maka kita akan berujung dengan takdir pula. Meski
bisa berubah, tidak ada yang benar-benar yakin perubahan itu akan lebih baik
dari rencanaNYA.
Dan begitulah..
Mereka bertemu oleh takdir, maka merekapun akan bertepi
disertai takdir. Apa takdir segalanya?
Tentu, jika bukan kerena takdir, tidak akan ada cerita
seelok kisah mereka. Di akhir nanti mereka akan memahami prinsip takdir
sesungguhnya.
Hujan masih setia mengiringi waktu menghabiskan hari. Rinai
air itu seperti betah berlama-lama dengan musim semi yang dipuja orang.
Entahlah.. apa ini juga takdir?
.
.
Namja tegap itu hanya bisa mematung di ambang pintu.
Tangannya yang tampak berkeringat mengepal erat. Tidak memperdulikan yeoja yang
tengah menangis tepat disamping tempatnya
berdiri mengusap bahunya penuh arti. Ia seakan tak ingin peduli, ia seakan
tuli. Meski bahkan semua orang di dunia ini mengatakan semua akan baik-baik
saja untuk menenangkannya, ia tidak peduli. Karena ia tau ini tidak akan
baik-baik saja, dan dari awal memang tidak pernah baik-baik saja.
Orang-orang berseragam putih itu keluar melewatinya yang
masih berdiri di dekat pintu, membawa alat-alat –yang entah apa itu namanya yang
tadi mereka bawa sebelum masuk. Dan yang terakhir, namja paruh baya –yang juga
berseragam putih‒ menepuk pelan bahunya lalu menghilang di balik pintu
bersama dengan yeoja yang tadi sempat bersamanya.
Dengan langkah gontai, siwon mendekati ranjang yang biasa
yesung selalu duduk menyandar menunggunya datang. Tapi kini berbeda, yang ada hanya
sosok rapuh yang dengan lelapnya tertidur. Siwon bisa melihat wajah putih dan
bibir pucat yesung tetutupi sebuah alat bantu pernafasan menutupi hampir
seluruh hidung dan mulutnya, bunyi seirama detik jam dari sebuah alat yang
terhubung dengan layar kecil seperti sebuah lullaby. Sekilas cukup sulit untuk
menemukan sosok yesung di antara alat-alat penunjang hidup yang dipasang pada
tubuhnya itu. Apa yesung benar-benar memerlukan alat sebanyak itu?
.
.
Entah di menit keberapa selepas tergelincirnya matahari ke
bagian bumi yang lain, kelopak mata serupa bulan sabit itu terbuka perlahan.
Mengerjap lemah menyesuaikan intensitas cahaya yang mengenai retina matanya.
Sampai onyx legam itu akhirnya memhiasi matanya sempurna, ia
melirik namja yang duduk di samping ranjang dengan mata tertutup. Namja itu
menggenggam jemarinya dan menangkupnya di bawah dagu guna sebagai penopang
untuk memanjatkan do’a. bibir putih di balik masker oksigen itu tersenyum
lembut mengetahui siapa yang dengan hangat menggenggam tangannya. Sesaat
kemudian ia melirik kearah sofa di sudut ruangan juga ia dapati seorang yeoja ‒yang
ia yakini itu adalah Mrs.Choi tengah tertidur.
‘si..won..”
Menyadari pergerakan kecil dari jemari yang di genggamnya,
siwon membuka mata. Mendapati sang pemilik hati telah membuka mata, ia
tersenyum penuh syukur. Setetes air jatuh mengalir, melewati ceruk dimpel yang
dengan indah membingkai senyumnya.
“aku tau kau akan bangun, aku tau kau tidak akan
meninggalkanku, terima kasih”
Yesung tersenyum, “mian..hae” ucapnya lemah. Siwon mengecup
lembut dahi yesung.
.
“kemarilah.. si-won..” tangan yesung menepuk-nepuk tempat
yang sedikit kosong di sampingnya, mengisyaratkan untuk siwon duduk di sana.
Yesung sedikit bisa berbicara bebas setelah ia memaksa dokter untuk melepas
masker oksigennya.
Siwon menurut, ia beranjak dari kursi dan duduk di tepi
ranjang yesung, sedikit mengusap surai hitam yesung lalu mengecup singkat
keningnya, “ada apa baby? Kau butuh sesuatu heum?” Tanya siwon lembut.
“aku.. kedinginan.. aku ingin kau memeluk-ku..”
Sesuatu yang tak mengenakan terlintas di benak siwon, ia
terlihat ragu untuk menanggapi keinginan yesung. tak ingin mengecewakan yesung,
siwon perlahan bersandar pada kepala ranjang, membiarkan yesung memeluk
pinggangnya. Halnya yesung, ia-pun begitu, merengkuh yesung dalam pelukannya.
Tangannya membelai lembut helaian surai yesung.
“berjanjilah untuk bahagia.. siwon..” ucap yesung dengan
suara pelan juga parau.
“tentu baby, kita akan bahagia bersama.. aku berjanji..”
siwon merasakan kepala yesung menggeleng pelan dalam rengkuhannya, ia menutup
matanya sekilas meresapi degup jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Setiap
debarnya benar-benar menyakitkan. Apa sesuatu akan terjadi?
“si-won.. tubuh-ku semua sakit..”
Ia melepas dekapannya dan membenahi posisi yesung ke posisi
semula. Siwon menangkup wajah kekasihnya, mengecupi satu persatu semua yang
bisa di lihatnya di wajah manis itu, dan terakhir ia mengecup lembut bibir
yesung. “jangan sakit lagi, ku mohon..”
Sejenak onyx itu tertutup, kening yesung berkerut. Dengan
susah payah ia mengatur nafasnya untuk bicara, lalu onyx itu kembali terbuka, “apa
ini waktuku untuk pergi?”
“pergi? Pergi kemana? Kau tidak akan pergi kemana-mana
selain rumah.. kau akan segera sembuh, jadi tunggulah sebentar lagi, heum?”
“apa aku harus.. mengucap-kan selamat tinggal sekarang?”
Siwon menggeleng keras, ia kembali mengecupi bibir dan pipi
yesung, berharap yesung berhenti berbicara hal-hal yang membuatnya takut,
“berhenti! Jangan katakan apapun lagi!”
“aku mencintaimu siwon, sangat mencintaimu..”
“aku lebih mencintaimu yesung.. jadi jangan pernah berpikir
untuk meninggalkanku! Arrachi?”
Yesung tersenyum, sampai senyum itu menghilang terhalang
oleh tubuh siwon yang mendekapnya. Siwon mengecupi puncak kepala yesung semakin
mengeratkan dekapannya.
Ini sudah cukup. Kisah ini terlalu sempurna untuk yesung.
sekeras apapun ia berusaha menghindar dari siwon, semakin ia terkat oleh cinta
namja choi itu. Mungkin ia memang sudah di takdirkan untuk mencintai siwon
sampai akhir. Dan inilah takdirnya, begitu mengharukan. Right?
Yesung tak pernah berpikir, akan ada seseorang yang
mencintainya sehebat ini di hidupnya. Di samping siwon, ia merasa sangat
sempurna, seperti mendapat kebahagiaan penuh. Jika tuhan mengijinkannya terlahir
kembali suatu saat nanti, ia akan memohon untuk kembali sebagai pendamping
siwon. Bahkan jika ia hanya dilahirkan kembali sebagai budak choi siwon, ia
akan sangat berterima kasih, karena ia diberi kesempatan untuk kembali mengenal
siwon dan masuk dalam kehidupannya.
Menjadi apapun itu asalkan ada di dekat siwon, ia bahagia..
‘aku mencintaimu choi
siwon.. aku mencintaimu.. sangat mencintaimu.. terima kasih’
.
Mrs.choi terisak di depan pintu yang sedikit terbuka. Melihat
putranya yang menangis seraya mendekap erat seorang namja yang tengah
‘terlelap’, membuatnya kembali menangis. Menangisi kisah cinta putra sulungnya yang tidak
direstui tuhan untuk bersama.
Kisah ini telah menemui ujung dari perjalanannya ketika
bunyi nyaring terdengar menguasai kamar serba putih itu. Seolah mengambil alih
kuasa.
Ini adalah akhir..
Tapi, Semua tak berakhir sampai sini..
.
.
.
.
.
.
Tuhan telah mengirim seseorang untukku, itu adalah sesuatu yang patut
ku syukuri sampai kapanpun, sekalipun dunia tak berputar lagi..
Dan untuk tuhan yang telah membiarkan aku hidup sempurna di samping dia
yang kucintai, aku akan menyerahkan seluruh hidupku untuk membayarnya..
Apapun.. seluruh hidupku untuknya..
Terima kasih..
Terima kasih untuk hujan, karenanya aku bisa mengerti apa itu ‘tulus’.
Juga musim semi, musim di mana aku merasa sempurna di ujung perjalanan menuju
bumi kedua.
Terima kasih untuk cintamu yang seputih salju. Terima kasih untuk
kasihmu yang seharum aroma musim semi. Terima kasih telah mencintaiku sampai
detik ketika sukmaku meninggalkan raga. Terima kasih masih tetap mencintaiku
meski aku telah menjadi penghuni abadi di kehidupan kedua. Terima kasih telah
mengijinkanku untuk mencintaimu.
Terima kasih, Choi siwon..
Aku mencintaimu.
Dengan berakhirnya cerita ini, aku telah memenuhi sumpahku untuk
mencintai seseorang sampai maut memisahkan. Dan setelahnya, aku masih bisa
merasakan cinta yang kelewat besar.
Aku tak pernah berpikir ini adalah akhir yang menyedihkan. Bagiku, ini
adalah akhir yang sempurna untuk kisah yang sempurna pula.
Apa kita satu pemikiran?
.
.
.
.
.
.
Hamparan bunga garbera menjulang sejauh mata memandang.
Seperti sebuah permadani berwarna hijau bercampur titik-titik merah. Si bunga
merah pekat yang memiliki makna ‘cinta yang sudah lama terikat’ itu seperti
satu-satunya jenis bunga yang tumbuh di tempat tersebut. Keindahannya didukung
dengan hembusan angin sejuk yang menenangkan.
Obsidian gelap namja itu memandang lepas kearah padang bunga
garbera. Tuxedo putih yang membungkus tubuh atletisnya membuat ia semakin
terlihat tampan. Angin lembut yang berhembus mengajak bermain rangkaian bunga
Baby Breath yang di genggam namja tampan itu. Ini seperti mimpi ia bisa berdiri
di tempat itu. Sesuatu yang ia nanti sejak lama. Bibirnya tak berhenti mengukir
senyum, Ia begitu bahagia.
Sampai bisikan yang terbawa angin mengintrupsinya, di tambah
semilir aroma Strawberry yang ia kenal membuat ia semakin mengembangkan
senyumnya yang memikat. Namja itu berbalik, dan mendapati namja lain yang lebih
manis tersenyum kearahnya. Namja manis yang juga mengenakan stelan putih itu
berjalan mendekat kearahnya. Si namja tampan menyerahkan sebucket bunga Baby
Breath pada si namja manis. Keduanya sama-sama tersenyum, saling memandang
penuh rindu juga penuh cinta. Dan akhirnya mereka berpelukan.
“aku datang.. kim yesung..”
“selamat datang.. Choi Siwon..”
.
.
END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar